Mengenal Suku Amungme

Indonesia merupakan negara luas yang ditempati oleh ratusan suku bangsa. Setiap suku ini mempunyai tradisi, adat istiadat, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Perbedaan ini kemudian menjadi warna dalam kehidupan seluruh masyarakat yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Papua merupakan provinsi di Tanah Air paling timur. Provinsi ini menyimpan kekayaan alam yang sangat luar biasa. Hal ini bisa dibuktikan dengan keberadaan tambang emas terbesar di dunia, yaitu PT Freeport yang terletak di Kabupaten Timika.

Tambang yang sangat tersohor hingga ke berbagai negara ini diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat sekitar. Namun setelah bertahun-tahun, kesejahteraan yang diharapkan belum juga terlihat.

Namun dampak buruk dari tambang ini bagaimanapun tidak bisa disingkirkan. Salah satu dampak yang tidak bisa dihindari adalah kerusakan lingkungan akibat limbah tambang.

Kerusakan alam ini tentu saja sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat asli Papua yang tinggal dengan wilayah tambang, salah satunya adalah masyarakat Suku Amungme.

Mungkin banyak yang tidak mengetahui, Suku Amungme adalah masyarakat yang mendiami wilayah tambang Freeport sejak ratusan tahun lalu.

Masyarakat suku ini menggunakan kekayaan alam di wilayah yang mereka tinggali untuk bertani dan berburu. Namun, kehidupan tradisional Suku Amungme yang damai akhirnya hilang setelah penambangan dari PT. Freeport dibuka. Bahkan naasnya lagi, Suku Amungme harus cabut dari wilayah mereka sendiri yang telah mereka diami selama turun menurun.

Dalam artikel ini akan dibahas mengenai kehidupan masyarakat Suku Amungme sebelum kehadiran Freeport. Baca sampai akhir, ya.

Sejarah Suku Amungme

Suku Amungme merupakan suku asli yang mendiami tanah Papua. Suku ini mendiami wilayah kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa.

Tempat tinggal suku ini sangatlah kaya, namun karena lokasi mereka tinggal termasuk di pedalaman hutan menyebabkan suku ini tertinggal. Pertanian masih dilakukan secara tradisional dan berpindah-pindah.

Amungme terdiri dari dua kata "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia. Suku Amungme menggangap bahwa mereka adalah penakluk, penguasa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan). Asal usul nenek moyang suku ini diyakini berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang.

Dalam komunikasi sehari-hari, Suku Amungme menggunakan bahasa tradisional, yaitu Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk suku yang menetap di utara.

Suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang hanya diucapkan saat berada di wilayah yang dianggap keramat.

Masyarakat Amungme hidup berkelompok dan mendirikan rumahnya di atas tiang-tiang kayu, dengan atap alang-alang atau daun rumbia (sagu). Setiap kelompok terdiri atas 5-10 rumah tangga.

Pakaian asli kaum wanita dari suku Amungme adalah rok atau cawat, yang terbuat dari serat kulit kayu. Sementara itu, kaum laki-laki memakai koteka, yang merupakan pakaian khusus dari kulit buah labu yang telah dikeringkan.