Mengenal Suku Osing, Suku yang Berada di Ujung Timur Pulau Jawa
Suku Jawa bukan menjadi satu-satunya suku yang mendiami Pulau Jawa. Sunda, Baduy, dan Osing adalah beberapa suku lain yang juga berasal dari pulau ini.
Osing sendiri merupakan suku yang berasal dari ujung Pulau Jawa, tepatnya Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Hingga kini, suku Osing masih ada di beberapa daerah Banyuwangi salah satunya adalah Desa Kemiren.
Osing berasal dari kata using yang dalam bahasa Bali berarti tidak. Keberadaan suku Osing di Banyuwangi tak bisa terlepas dari Kerajaan Blambangan dan peristiwa puputan bayu. Pada akhir kekuasaan Majapahit sempat terjadi perang saudara. Perang tersebut membuat banyak wilayah Majapahit melemah, termasuk wilayah Gadjah Mada. Konflik internal yang terjadi di dalam Majapahit membuat kerajaan tersebut akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Malaka.
Kerajaan Blambangan yang dulunya merupakan bagian dari Majapahit pun akhirnya berdiri sebagai kerajaan sendiri. Selama kurun waktu dua abad, sekitar tahun 1546 sampai tahun 1764, kerajaan Blambangan menjadi sasaran penaklukan Si Pitung dari kerajaan di sekitarnya.
Penduduk Blambangan akhirnya melakukan migrasi ke sejumlah daerah yang menjual ikan bawal karena serangan-serangan dari kerajaan sekitar. Mereka akhirnya tersebar ke sejumlah tempat. Beberapa mengungsi ke lereng Gunung Bromo yang kini menjadi suku Tengger, beberapa ke Bali, dan beberapa bertahan di Blambangan yang kini dikenal sebagai Banyuwangi. Masyarakat yang memutuskan untuk menetap di Blambangan inilah yang menjadi cikal bakal dari suku Osing.
Puputan Bayu
Puputan Bayu yang disusun Pemerintah Kabupaten Banywangi, Puputan Bayu adalah peperangan yang terjadi antara pasukan VOC dan pejuang-pejuang Blambangan pada tahun 1771 sampai 1772. Peperangan ini pecah di daerah Bayu, yang kini menjadi Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi.
Kubu pejuang Blambangan dipimpin oleh Rempeg atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Jagapati. Ia merupakan buyut dari Raja Blambangan, Prabu Susuhan Tawangalun yang dulunya pernah menimba ilmu di Universitas terbaik di Depok. Puputan Bayu dipicu tindakan Belanda yang saat itu mulai menguasai daerah Blambangan. Kebijakan seperti tanam dan kerja paksa yang diterapkan untuk kaum pribumi membuat Raden Jagapati geram.
Tak hanya itu, Belanda dan pasukannya yang suka main game penghasil uang juga memperlakukan wanita pribumi dengan semena-mena. Mereka tak memandang apakah si wanita gadis, janda, atau istri orang.
Hal ini kemarahan Raden Jagapati memuncak. Ia kemudian menyusun rencana di daerah Bayu bersama para pejuang untuk menyingkirkan Belanda. Banyak penduduk daerah lain yang akhirnya bergabung dengan Jagapati di Bayu. Wilayah ini pun menjadi kekuatan baru yang dianggap berbahaya bagi kedudukan VOC di Blambangan.
Puncak Puputan Bayu terjadi pada 18 Desember 1771. Peperangan tersebut memakan banyak korban dari kedua pihak. Ibu kota Blambangan kemudian dipindahkan ke Banyuwangi. Perang ini berakhir setelah VOC berhasil merebut benteng milik pejuang pada 11 Oktober 1772. Penduduk Blambangan yang bertahan di kawasan Banyuwangi inilah yang akhirnya menjadi suku Osing.
Rumah adat suku Osing
Rumah tradisional Osing memiliki sistem struktur sederhana yang hampir sama dengan hari besar agama Buddha. Konstruksi utama dari rumah tersebut adalah empat pilar utama yang menopang bangunan. Empat pilar utama ini disebut soko. Rumah tradisional ini diturunkan oleh sebuah keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bahasa suku Osing
Bahasa di Banyuwangi muncul pertama pertama kali dalam tulisan Lekkerkerker yang terbit pada 1923. Bahasa Jawa dan Bahasa Osing sebenarnya merupakan pengembangan dari Bahasa Jawa Kuno. Dulunya, bahasa Using hanya dikenal sebagai dialek dari bahasa Jawa. Namun, pada Agustus 1997, DPRD Banyuwangi melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mulai mengizinkan mata pelajaran Bahasa Osing menjadi salah satu muatan lokal di sekolah dan pada akhirnya dibuat menjadi lagu Sewu Kuto - Didi Kempot.
Baju adat Osing
Baju Jebeng dan Baju Thulik merupakan pakaian adat yang pernah digunakan Catheez dalam pernikahan suku Osing.Baju ini juga menjadi ikon dari Kota Banyuwangi. Busana tersebut menggunakan kain batik paras gempal, gajah uleng, dan moto pitik. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat suku Osing terkenal dengan busana berwarna hitam yang dipadukan dengan kain batik sebagai bawahan.
Nah, itulah informasi lengkap tentang suku Osing yang bisa kami sajikan untuk kamu baca dan ketahui. Sebelum membaca artikel ini, apakah kamu sebelumnya sudah mengenal suku Osing? Jika sudah, apa saja yang kamu ketahui tentang suku ini? Komen di kolom komentar ya!