Suku Lio

Suku Lio adalah suku bangsa tertua dan suku terbesar yang ada di Pulau Flores. Suku ini juga masih sangat sakral memegang teguh tradisi dan budaya warisan para leluhur.

Masyarakat suku Lio pada umumnya menempati Kecamatan Wolowaru, Kecamatan Ndona, Kecamatan Ndona Timur, Kecamatan Detusoko, Kecamatan Lio Timur, kecamatan Maurole, Kecamatan Detukeli, Kecamatan Ndori, Kecamatan Kelimutu, beberapa wilayah di Kecamatan Maukaro , Kecamatan Lepembusu Kelisoke, Kecamatan Kotabaru, Kecamatan Wolojita dan Kecamatan Wewaria.

Populasi masyarakat Lio mendominasi hampir 85 % wilayah kabupaten Ende. Suku Lio juga menempati bagian barat wilayah Kabupaten Sikka yakni: Kecamatan Paga, Kecamatan Mego, Kecamatan Tanawawo, dan Kecamatan Magepanda.

Asal Usul

Dahulu diceritakan suku Lio adalah manusia pertama di wilayah Ende Lio turun dari gunung tertinggi yaitu gunung Lepembusu yang berada di kawasan pemukiman desa Wolotolo. Suku Lio di desa Wolotolo dipimpin oleh empat Mosa Laki (kepala suku) dan tujuh Kopo Kasa (wakil kepala suku).

Kepala suku dan Kopo Kasa memegang peranannya masing-masing sesuai dengan tugas yang diamanatkan turun temurun dari nenek moyang sebelumnya. Keempat kepala suku bertempat tinggal di sao ria (rumah besar) masing-masing.

Suku Lio di Desa Wolotolo memiliki berbagai macam elemen permukiman adat bangunan mulai dari sao ria (rumah besar), sao keda (tempat musyawarah), kanga (arena lingkaran), tubu musu (tugu batu), rate (kuburan) dan kebo ria (lumbung). Bangunan-bangunan adat suku Lio ini memiliki berbagai macam bentuk sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Versi lain mengatakan orang Lio awalnya datang dari Malaka wilayah Malaysia, ada juga yang berpendapat datang dari Kabupaten Malaka di Pulau Timor , NTT. Nama orang tersebut adalah Lio Laka yang turun di Kecamatan Wewaria (Pantai Utara Flores Kab. Ende).

Hal ini menunjukan bahwa versi yang mengatakan bahwa orang Lio merupakan keturunan orang Malaka yang berada pada provinsi NTT tidak relevan karena Malaka NTT berada pada Pulau Timor yang berada pada selatan pulau Flores. Sangat tidak mungkin ketika melihat daratan, pelaut malah putar arah dari pantai selatan ke pantai utara

Agama dan Kepercayaan

Suku ini dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka kepada wujud tertinggi yang disebut Du'a Ngga'e, Nitupa'i, atamata dan bobo mamo.

Du'a Ngga'e merupakan sebutan untuk Tuhan Allah, Nitupa'i merupakan sebutan untuk roh halus yang paling ditakuti dan harus dihormati. Sementara atamata dan bobo mamo merupakan sebutan mereka untuk leluhur.

Du'a Ngga'e merupakan konsep tertinggi yang wajib di sujud masyarakat suku ini dan Nitupa'i berada di titik yang harus dihormati.

Masyarakat suku Lio percaya adanya kekuatan adikodrati serta percaya bahwa roh-roh para leluhur dan roh-roh alam sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka.

Walaupun sebagaian kecil masih mempraktikkan agama asli Nusantara (agama leluhur) tetapi saat ini hampir seluruh ata Lio (orang Lio) baik yang berada di Kabupaten Ende maupun yang berada di Kabupaten Sikka sebagian besar sudah beralih ke agama agama Abrahamik, yakni: Kristen Katolik dan Islam. Saat ini mayoritas suku Lio beragama Katolik dan sisanya Muslim.

Rumah Adat

Bangunan tradisional suku ini memiliki beragam jenis variasi antara lain:

  1. Sao Keda - Bangunan pertama sebagai cikal bakal pemukiman

  2. Sao Ria - Bangunan/ Rumah Besar

  3. Tupu Mbusu - Batu Lonjong

  4. Sao Bhaku - Rumah penyimpanan tulang belulang

  5. Kuwu Lewa - Bangunan yang digunakan sebagai dapur umum

  6. Rate - Kuburan Besar

  7. Kebo ria - Lumbung

  8. Kanga - Tempat untuk melakukan ritual adat

Kebudayaan

Kelompok sosial yang sangat penting dalam suku Ende lio mewujudkan struktur piramidal, yang dipuncaknya duduk kepala suku yang secara turun temurun dijabat oleh anak laki-laki sulung.

Ia berstatus dan bertindak sebagai orang tua (Ine Ame) dan disebut pula sebagai ahli waris (Teke Ria Fai Nggae). Warga suku Lio yang masih seketurunan dengan Laki Ine Ame dinamakan Aji Ana, artinya sama dengan adik dan anak.

Selanjutnya warga yang tinggal dalam kampung itu, tetapi tidak ada hubungan kerabat dengan kepala suku tadi disebut Fai Walu. Warga semacam ini tidak mendapat warisan yang berasal dari nenek moyang suku, akan tetapi bila ia berjasa terhadap suku akan diberi imbalan tertentu.